Genemo Papua

Tanah Air Milik Kita!

DERMA PERGI DARI LORONG GEREJA NAMUN TIDAK KEMBALI KE DALAM GEREJA

7 min read

Berbicara mengenai gereja tentu menjadi membahasa yang sangat universal dan bervariasi, baik itu gereja secara institusi maupun gereja secara religi. Gereja secara institusi yang dimaksud adalah gereja yang memiliki struktur aturan dengan hirarki gereja yang ada dan dengan kepemimpinan gereja hingga pengikut (umat). Dan, gereja secara religi adalah kumpulan orang yang percaya pada Tuhan. Pembicaraan di dalam ini, akan masuk dalam refleksi kritis dan kritik akan situasi gereja Katolik di Papua baik itu secara institusi sebagai pengolah derma dan gereja secara religi sebagai penyumbang derma. Gereja secara institusi dan gereja secara kepercayaan tentu memiliki koherensi yang tidak dipisahkan, kedua pengertian ini menjadi satu dalam praktik gereja secara universal.

Pengertian

Gereja dalam pengertian KBBI adalah “Bangunan tempat ibadah bagi umat Kristiani, dan perkumpulan umat Kristen yang memiliki keyakinan dan ajaran yang sama”. Gereja dalam pengertian yang luas secara yuridis adalah orang-orang yang dibaptis dalam Kristus (bisa membaca kan. 96, 204, 205) dan Gereja sebagai sakramen keselamatan, atau Gereja sebagai Tubuh Mistik Yesus Kristus (Rom. 16:25-27; 1 Kor. 10:11; Kol. 1:18, 24). Gereja dilihat sebagai institusi dalam arti bahwa secara institusional Gereja mengartikulasikan charisma  “hidup di dalam Yesus Kristus” yang dimanifestasikan secara kelihatan melalui tanda sacramental dari suatu umat yang terorganisir secara struktural di dalam communio/persekutuan.

Derma dalam pengertian KBBI adalah “Sumbangan atau pemberian sukarela, baik berupa uang, barang, atau layanan, yang ditujukan bantu orang lain atau untuk kepentingan umum”. Derma dalam pengertian Gereja adalah tindakan memberikan bantuan atau sumbangan kepada orang yang membutuhkan, terutama mereka yang miskin atau kurang beruntung. Lebih dari sekedar memberikan bantuan materi, derma dalam konteks Gereja merupakan wujud dari cinta kasih Kristus yang diwajibkan dalam ajaran Gereja. Memberi derma adalah tindakan yang mencerminkan belas kasih, kesederhanaan, dan tindakan untuk memperdalam iman dan memperkuat solidaritas dengan sesama.

Ada tiga hal yang akan menjadi perbincangan kita. Bicara tentang gereja tentu tidak harus bicara tentang hal positif yang selalu ada dalam tubuh gereja, gereja perlu menyadari dan membuka diri secara transparan terhadap semua dinamika yang terjadi, oleh sebab itu kalau diselediki secara mendalam gereja memiliki berbagai tindakan buruk bahkan tindakan moral pun dibiarkan. Penulis kemudian merefleksikan persoalan ini dari konteks kehidupan umat Katolik yang ada di tanah Papua yang menggerakan dan mengharuskan untuk penulis menulis dari persoalan yang kontekstual dari Gereja Papua. Maka kita perlu mengkritisi dan merefleksi apa yang terjadi terhadap gereja. Tentu banyak persoalan yang ada dan perlu untuk didiskusikan, namun kita dibatasi dengan fokus pembahasan dan diskusi dari tulisan ini, yakni kita membahas tentang pengelola derma dalam tubuh Gereja dalam hal ini dari setiap keuskupan yang ada, kita juga berbicara tentang derma kembali pada lorong gereja kepada umat atau tidak, dan terakhir adalah refleksi dari penulis:

Kunci Brankas Derma Ada Di Tangan Keuskupan

Berbicara tentang derma dalam gereja tentu menjadi keharusan yang ada, dan diingatkan lagi, sebab derma dalam gereja tentu tidak berasal dari luar umat Katolik melainkan berasal dari dalam umat Katolik. Dan berbicara tentang keuskupan merupakan hirarki tubuh gereja, dalam konteks ini tentu sebagai pengelola yang sedang mengelola derma, dan siapa hirarki di dalam ini yakni uskup, pastor, diakon hingga biarawan-biarawati. Dalam pembahasan ini tentu yang menjadi ultim adalah desakan berupa pertanyaan bagi semua umat yang ada “kemanakah derma itu pergi? Hingga tidak kembali dalam kehidupan umat”. Pertanyaan ini tentu bersifat abstrak yang artinya setiap umat bertanya dalam dirinya sendiri soal derma ini dan tidak bersifat pertanyaan diskusi yang dilontarkan kemana-mana hingga tiba di tahta uskup.

Pertama-tama masuk pada konteks persoalan yang ada. Derma dari Gereja dan kembali untuk Gereja artinya derma dari umat dan kembali untuk umat, namun nampaknya belum ada dan masih buram entah kedua mata ini yang salah ataukah faktanya memang benar kalau tidak ada, pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar yang ada, sebab pemberian derma disertai dengan sepucuk harapan doa yang besar bagi umat agar doanya membumbung tinggi pada Dia sang Pemberi hidup ini. Pemberian dengan harapan dan doa yang besar dan dengan harapan pula agar derma yang diberikan ini digunakan dengan sebaik mungkin oleh pengelola derma dari pemegang brankas derma. Artinya hasil yang dipersembahkan oleh umat harus menuju pada gerbang keselamatan bagi banyak orang, entah membantu mereka yang sangat membutuhkan atau mereka yang sangat berkekurangan, sebab memberian dari derma merupakan wujud dari cinta kasi Kristus.

Sedikit menyinggung secara umum pendapatan umat dalam konteks Gereja di Papua, tentu dalam keuskupan memiliki setiap paroki yang ada, baik itu di perkotaan maupun di perkampungan atau sekarang sudah dibentuk wilayah sendiri seperti TPW (Team Pastoral Wilayah) atau DEKENAT (Unit Yurisdiksi Teritorial dalam setiap Paroki). Jika diamati mayoritas umat yang ada tentu tidak memiliki kedudukan status yang tinggi dalam pekerjaan, sehingga pendapatan pada umumnya amat sangat rendah, kebanyakan umat hanya berkebun lalu menjual hasil kebun dan juga menjual pinang di emperan jalan lalu mendapa lima ribu rupiah atau sepuluh ribu rupiah, dari hasil yang didapatkan itu sebagian menjadi prioritas untuk derma pada saat hari minggu atau pun hari ibadah yang lainnya. Mari mencoba membayangkan hal yang menyedihkan ini, umat datang dengan kekurangan yang ada dan memberikan derma dengan kekurangannya itu lalu bersujut dilorong Gereja dengan untaian doa yang besar untuk dirinya yang lemah itu. Umat ini pula tidak secara langsung memiliki harapan yang besar dari sedekah yang dia berikan, harapan orang lemah tentu hanya menginginkan agar derma itu dikelola dengan baik agar menjadi berkat bagi banyak orang.

Menunggu Derma Pulang

Kembali pada pertanyaan ultim “Kemanakah derma itu pergi dari brankas?”. Secara komprehensif gereja memiliki unit bantuan kepada umat yang ada, seperti DSP (Dana Sosial Paroki), dana ini dikumpulkan lalu membantu umat yang membutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan, kemudian DSP (Dana Solidaritas Paroki), dana ini dari keuskupan untuk kebutuhan paroki, kemudian DANPAMIS (Dana Papa Miskin), dana dari kolekte dan persembahan bulanan yang digunakan untuk membantu umat yang mengalami kesulitan ekonomi, dan Dana Pemberdayaan Umat, ini merupakan program pelatihan dalam usaha kecil di bidang pertanian, perikanaan atau keterampilan. Dan secara komrehensif pendapatan Gereja dari keuskupan untuk menangani persoalan ini sangatlah cukup, jika dilihat dari beberapa wilayah yang ada di keuskupan. Dari beberapa unit bantuan ini, kelihatannya tidak begitu nampak dalam setiap paroki yang ada dalam keuskupan di tanah Papua ini, bantuan nyata secara fisik tidak terlihat dalam lingkup paroki.

 Keuskupan memiliki kewajiban penuh untuk membantu umat yang berkekurangan dalam setiap paroki yang ada, jika dilihat dari kehidupan umat yang ada, begitu banyak umat yang berteriak pertolongan, seperti janda, duda, yatim-piatu dan umat yang berpendapatan rendah. Mereka selalu berharap dengan besar agar bantuan itu datang dan menyentuh kehidupan mereka, namun semua menjadi mimpi yang mengalir dalam kehidupan mereka, sebab harapan itu menjadi sirna.

Ditegaskan kembali lagi, keuskupan memiliki kewajiban penuh untuk membantu umat yang sedang berkekurangan, dengan itu keuskupan tidak memiliki kewajiban untuk menunggu permintaan pertolongan dari umat yang datang, melainkan pemegang brankas itu datang dan mendengarkan jeritan dari mereka yang sedang meratap tangis karena kekurangan itu. Dari semua ini tidak terlihat sentuhan nyata dari keuskupan atau suara uskup untuk membantu mereka yang sedang berkekurangan itu, lalu di manakah pengertian Gereja sebagai Tubuh Mistik Yesus Kristus (Rom. 16:25-27; 1 Kor. 10:11; Kol. 1:18, 24), tidak ada suara kenabian dalam Gereja di atas tanah ini, berbelok jauh dari kehidupan Yesus, Yesus sangat jelas datang untuk orang yang miskin, lemah dan yang berkekurangan (Luk 4:18; Luk 5:31-32; Maz 22:24). Ada harapan yang besar untuk mengembalikan semua ini menjadi kepedulian Gereja, tidak hanya melakukan serimonial misa, ibadah dan doa, tetapi juga melakukan sentuhan langsung terhadap umat kita di atas tanah yang diberkati ini.

Pertanyaan dari poin ini, kapan derma itu kembali? Gereja memiliki kekuasaan yang ada yaitu dipimpin langsung oleh seorang uskup dengan beberapa wilayah yang ada dan dipimpin oleh seorang pastor paroki, sehingga kapan atau mengapa, tergantung pada yang memimpin atau yang sedang ada di tahta yang suci itu. Menunggu adalah hal yang sangat menyakitkan bagi mereka yang menunggu dengan harapan yang besar, sebab tidak ada sentuhan dari pihak yang berwajib atau tidak ada aksi nyata yang ada. Yang ada hanya menunggu dan menunggu hingga hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun namun kehidupan terus berganti dan yang rendah tetap direndahkan, yang kurang tetap menjadi kurang dan miskin tetap menjadi miskin.

Refleksi

Melihat situasi yang ada tentu menjadi refleksi besar bagi penulis dan juga mungkin bagi orang lain, dan menimbulkan pertanyaan besar dari situasi umat yang ada, apakah doa tidak memiliki keterkaitan dari kehidupan manusia?. Jika dilihat dari persoalan yang ada, selayaknya doa menjadi entitas sendiri yang tidak bersentuhan dari kehidupan, namun harapannya ada keterikatan yang ada dari kedua terminologi ini, sebab atheis pun masih merasa penting dari koherensi antara doa dan kehidupan.

Doa, ibadah dan misa tentu sangat penting bagi manusia yang beragama, namun penting juga suatu kehidupan di dunia bagi manusia dan manusia memiliki ukuran yang sama antara doa dan kehidupan. Gereja menganut kedua terminologi ini, doa dan kehidupan keduanya sudah tentu menjadi satu kesatuan, kehidupan menjadi baik karena terus ada doa yang menghantar kehidupan ini jauh lebih baik dan bermakna. Dari konteks persoalan ini, doa menjadi hal utama atau arkhe dari semuanya yang ada, termasuk kehidupan, sehingga tercium suaka dari doa sangat terlihat, sebab kepercayaan terhadap iman seseorang tidak bisa diperbantahkan oleh siapa pun dengan cara apapun.

Ada korelasi antara kebiasaan orang Papua terhadap kepercayaan ini, pada umumnya orang Papua menanggapi kepercayaan ini dengan hati atau sering disebut dengan perasaan dan tidak dengan pikiran. Sehingga kepercayaan apapun tentu diterima dengan baik, seperti menghormati seorang uskup atau pastor amat sangat besar sebab dianggap Tuhan ada pada diri mereka. Kebiasaan ini membuat manusia Papua tidak bisa mengritisi apa yang salah dari Gereja atau dari pemimpin Gereja, yang ada hanya menerima apapun yang terjadi dalam gereja, sehingga Gereja di Papua terlihat masih menghidupi istilah dari dogma Gereja yang hidup sebelum Konsili vatikan II “Di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra Ecclesiam nulla)”. Persoalan ini merupakan salah satu dari beberapa persoalan yang ada, yang tentunya tidak pernah dibicarakan atau dikritik dari umat yang ada. Dari poin ini mau dikatakan bahwa Gereja di Papua terlihat menutup gerbang menuju pada keberpihakan pada orang lemah dan miskin, sebab brankas belum menjadi berkat bagi banyak orang terutama umat yang berkekurangan dan umat yang sangat membutuhkan.

 Ada dua ruang yang tampaknya menjadi polemik, nentunya semacam satu ruang terlihat bersembunyi dari satu ruang yang lain, ada ruang Gereja yang tentunya sebagai institusi dan ada ruang Gereja yang religi, keduanya satu namun tampaknya berbeda dari konteks persoalan yang diangkat. Dilihat dari semua situasi yang ada dalam Gereja, semacam ruang institusi berada pada tingkat pertama dan diikuti dengan ruang religi, namun religi menjadi tempat persembunyian dari institusi. Gereja yang selayaknya menjadi manifestasi dari wujud Yesus kini berwujud kapital sehingga tentu benar bahwa Papua selalu menjadi ladang subur.

Oleh penulis jalanan Aymaus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *