Byak Bukan Pulau Kosong
4 min read
Pulau Byak Bukan Pulau Kosong. Sejak ribuan tahun lalu, Masyarakat adat Byak telah mendiami, mengelola, dan mewariskan tanah serta pulaunya inter dan intra generasi. Hubungan orang Byak dengan tanahnya bersifat spiritual, genealogis dan kultural – bukan semata soal ekonomi atau kepemilikan format. Tanah ada identitas, ruang kehidupan, serta sumber kedaulatan Masyarakat adat.
Slogan Byak Bukan Pulau Kosong lahir sebagai jawaban atas narasi negara dan investor yang seringkali melihat Papua, khususnya pulau Byak, sebagai wilayah kosong yang siap dieksploitasi. Padahal, di balik setiap jengkal pulau Byak, terdapat Sejarah, marga dan ikatan leluhur. Lebih dari itu, orang Byak Adalah bagian dari Bangsa Papua yang telah dan sedang berjuang untuk menentukan Nasib sendiri sebagaimana dijamin dalam hukum Internasional. Hak ini mencakup pilihan untuk hidup Merdeka, bebas dari penindasan, dan berdaulat atas tanah leluhur.
Jejak Militer dan Dampak Sosial Budaya
Sejarah Panjang pulau Byak, tidak bisa dipisahkan dari militerisasi. Pada Perang Dunia II (1941-1944), Pulau Byak dijadikan basis militer Jepang dan Sekutu. Setelah kemerdekaan Indonesia, wilayah ini Kembali dijadikan pos pertahanan, termasuk dalam operasi militer dalam melawan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1965 hingga awal 2000-an.
Militerisasi tidak hanya meninggalkan trauma, tetapi juga mengubah struktur social Masyarakat Adat Byak. Banyak keluarga dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka, terjadi pergeseran nilai budaya dan muncul generasi yang tumbuh dalam suasana ketakutan. Stigma “OPM” dipakai sebagai alat untuk melegitimasi negara untuk menguasai dan membungkam perlawanan di pulau Byak. Dengan cara ini, tanah adat dilepas tanpa keadilan, dan Masyarakat sipil menjadi korban berulang kali.
Kini, pola lama itu diteruskan melalui Proyek Pembangunan Strategis Nasional. Bandara Antariksa di Warbon, pengalengan ikan di Swandiwe, basis militer di Wandos, serta LLDIKTI di Sorido hanyalah contoh dari deretan proyek yang dilakukan tanpa persetujuan Masyarakat adat. Alih-alih menghadirkan kesejahteraan, proyek-proyek tersebut justru memperuncing konflik antar-marga, melemahkan solidaritas Masyarakat, dan memperkuat dominasi negara atas Pulau Byak.
Data Terkini dan Kegagalan Pembangunan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2025), jumlah penduduk Biak Numfor) mencapai 150.318 jiwa. Dari jumlah itu, lebih dari 124.800 jiwa Adalah orang asli Papua di Byak. Sekitar 65 persen penduduk berada pada usia produktif, namun hanya 7 persen yang mampu menyelesaikan Pendidikan tinggi. Angka harapan sekolah Orang Papua hanya 11 tahun, setara dengan kelas 1 SMP. Ini menunjukkan betapa rendahnya akses Pendidikan yang memadai bagi Masyarakat adat Byak.
Dalam bidang Kesehatan, situasinya tidak lebih baik. Papua mencatat lebih darin 47 ribu kasus HIV/AIDS, dengan 2.542 kasus berada di Byak. Akses terhadap layanan Kesehatan modern masih terbatas, sementara pelayanan berbasis komunitas adat tidak pernah diperkuat negara.
Secara ekonomi, aktivitas perdagangan di Pusat Pulau Byak dikuasai pendatang. Ratusan ruko, dimiliki non-Papua, sementara orang Byak hanya menguasai Sebagian kecil dari sektor informal. Disisi lain, investasi besar seperti periknan industry dan proyek Antariksa mengorbankan tanah Masyarakat adat. Artinya, Pembangunan justru meminggirkan orang Byak dari Tanahnya sendiri.
Kegagalan Pembangunan di Byak Adalah cermin dari kegagalan besar Otonomi Khusus (Otsus) di seluruh Papua sejak 2001. Selama lebih dari dua dekade, Otsus tidak memberikan kemajuan berarti bagi orang asli Papua, melainkan memperdalam marginalisasi, deskriminasi, dan kemiskinan structural.
Pemekaran, Otsus Jilid II, dan Kolonialisme
Pemekaran provinsi Papua yang dilegalkan melalui UU No. 2 tahun 2021 semakin memperparah situasi karena dalam pasal 76 ayat 3 memungkinkan pemekaran tanpa mempertimbangkan kesiapan daerah, baik dari segi Sumber Daya Manusia maupun infrastukrur.
Di Byak, wacana pemekaran provinsi Papua Utara (Saireri) telah memecah bela Masyarakat. Elit-elit local sibuk melobi Jakarta untuk mempertahankan kursi kekuasaan atau imbalan legitimasi politik Jakarta, disamping penyalahgunaan kekuasaan. Sementara rakyat Byak kehilangan tanah leluhur mereka tetapi juga terjebak dalam konflik horizontal akibat perbedaan pandangan mengenai pemekaran dan Otsus.
Fenomena ini sesuai dengan teori Internal Colonialism (Hechter, 1975), Dimana daerah pinggiran seperti Papua dipaksa menyediakan sumber daya alam bagi negara, namun manusianya tetap termarjinalisasi. Pada akhirnya orang Byak mengalami eksploitasi ganda: Tanah dirampas sedang disaat bersamaan menjadi minoritas di atas Tanahnya sendiri.
Penegasan Hak dan Masa Depan Orang Byak
Kondisi yang berlangsung di Pulau Byak jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) tahun 2007. Deklarasi tersebut menjamin hak Masyarakat adat untuk mempertahankan tanah, wilayah dan sumber daya mereka serta menentukan prioritas Pembangunan sesuai aspirasi sendiri. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) menegaskan bahwa Masyarakat adat tidak boleh dipaksa melepaskan tanah mereka tanpa persetujuan yang bebas dan jelas, dan sangat miris karena prinsip tersebut tidak dijalankan di Pulau Byak.
Masyarakat Byak menegaskan Kembali bahwa Pulau Byak bukanlah ruang kosong yang dengan liarnya digunakan untuk proyek militer atau investasi. Tanpa pengakuan atas hak-hak adat, Pembangunan hanya memperdalam ketidakadilan, memperlemah solidaritas, dan memperparah luka Sejarah. Masa depan orang Byak hanya dapat dijamin melalui pengakuan penuh atas kedaulatan Masyarakat Adat atas tanah leluhur mereka.
Namun, lebih jauh dari itu, hak Masyarakat adat Byak tidak hanya berhenti pada pengelolaan tanah. Sebagai bagian dari Bangsa Papua, orang Byak memiliki hak fundamental untuk menentukan Nasib sendiri, termasuk pilihan untuk Merdeka dari system kolonialisme yang menindas. Hak Menentukan Nasib Sendiri Adalah prinsip universal yang dijamin dalam Piagam PBB serta Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) tentang Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples.
Dalam konteks Papua, hak ini telah lama diingkari melalui PEPERA 1969 yang cacat hukum dan politik, karena dilakukan dengan cara intimidasi, terror, dan tidak mewakili aspirasi rakyat Papua secara demokratis. Oleh karena itu, perjuangan Masyarakat adat Byak tidak dapat dipisahkan dari perjuangan Bangsa Papua secara keseluruhan untuk memperoleh Kembali Hak Menentukan Nasib Sendiri.
Dengan demikian, penegasan bahwa Pulau Byak adalah Tanah dan Pulau Kehidupan Masyarakat adat Byak, bukan Pulau Kosong. Segala bentuk kebijakan pemekaran, invetasi dan militerisasi merupakan bentuk kolonalisme yang harus dilawan demi mencapai kemerdekaan politik, pemulihan martabat, penegakan keadilan, dan Pembangunan yang lebih manusiawi di atas Tanah Leluhur orang Byak.
Daftar Pustaka
- Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Biak Numfor. (2025). Biak Numfor dalam Angka 2025. Biak Numfor: BPS.
- Hechter, M. (1979). Internal Colonialism: The Celtic Fringe in British National Development, 1536-1966. London: Routledge.
- United Nations. (2007). United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP). New York: United Nations.
- WHO Papua & Dinas Kesehatan Papua. (2024). Laporan Epidemiologi HIV/AIDS di Papua. Jayapura: WHO Papua Office.
- Elmslie, J. & Webb-Gannon, C. (2013). A Slow Motion Genocide: Indonesia Rule in West Papua. Griffith Journal of Law & Human Dignity, 1(1).
Penulis: Terry A. Inggabauw