Genemo Papua

Tanah Air Milik Kita!

DI TANAH PAPUA TIDAK ADA KETENANGAN BAGI ORANG ASLI PAPUA DAN WARGA NON-PAPUA

9 min read

Wamena, 06 September 2025

𝗧𝗮𝗻𝗮𝗵 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝗶𝗯𝗮𝗿𝗮𝘁 𝗱𝗶𝗮𝘁𝗮𝘀 𝗱𝗮𝘂𝗻 𝘁𝗮𝗹𝗮𝘀 𝗱𝗮𝗻 𝗴𝗲𝗹𝗼𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗶𝗿 𝗱𝗶 𝗹𝗮𝘂𝘁. 𝗢𝗿𝗮𝗻𝗴-𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝗱𝗶𝗼𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴-𝗮𝗺𝗯𝗶𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗶𝘀𝘂 𝗱𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗽𝗲𝗻𝘁𝗶𝗻𝗴𝗮𝗻, 𝘀𝗲𝗵𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮 𝗺𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽 𝘁𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶 𝗮𝘁𝗮𝘀 𝘁𝗮𝗻𝗮𝗵𝗻𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶

 

𝗜. 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝗕𝗮𝗿𝗮𝘁 𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗔𝘀𝗶𝗮 𝗣𝗮𝘀𝗶𝗳𝗶𝗸

Pulau Papua Barat, terletak di Kawasan Asia Pasifik, berdekatan dengan Papua New Guinea, Timor Leste, dan Maluku. Orang Asli Papua adalah orang Kulit hitam dan Rambut Keriting yang memiliki ras Melanesia. Mereka hidup dikawasan Pasifik. Sejarah mencatat bahwa Pulau Papua bukan bagian dari Indonesia. Hal itu telah terjadi dan tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Papua Barat.

Sebelum Indonesia mencaplok tanah Papua tahun 1963, Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961.  Pulau yang memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah dan kini direbut oleh Pemerintah Indonesia, dibawah kekuasaan Presiden Ir. Soekarno dan M. Hatta. dengan cara yang manipulatif, militeristik dan monopoli.  Orang Asli Papua dipaksakan bergabung dengan Indonesia. Mereka tidak melihat perbedaan Ras dan Etnis. Diketahui Orang Asli Papua dengan orang diluar Papua sangat beda jauh dari sudut pandang Etnis, ras dan adat istiadat.

Pelaksanaan Penentuan pendapat rakyat pada tahun 1969 terlibat sangat militeristik dan cacat hukum internasional. Orang-orang tua dari Gunung yang pernah ikut bergabung dalam pelaksanaan Pepera pada tahun 1969, seperti Bapak Aligat Hesegem, Sakius Wenda, Amuli Matuan dan beberapa yang lainnya, selalu menjelaskan kepada kami bahwa; Pada waktu pelaksanaan Pepera banyak janji-janji dan terjadi manipulasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika dan UNTEA (Sekarang PBB), dan semua terjadi hanya kepentingan mereka.

Waktu itu juga, kami dijanjikan akan dibangunkan Rumah Sehat, diberikan senter, Radio dan beberapa barang lainnya. Waktu itu Orang tua tidak pernah berpikir dibalik pelaksanaan PEPERA dengan banyak rekayasa dan kepentingan yang dilakukan Pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karena pelaksanaan PEPERA 1969 dilakukan di bawah tekanan, sehingga orang-orang tua merespon bergabung dengan Bangsa Indonesia. Mereka sebagai Pelaku PEPERA terpancing dengan iming-iming dan janji-janji kosong yang dilontarkan Pemerintah Indonesia, Belanda dan Amerika, Sehingga mereka mengikuti.

Semua dilakukan Demi kepentingan Pemerintah Indonesia, Amerikan dan Belanda. Setelah tanah Papua yang terletak di kawasan Asia Pasifik direbut dengan rekayasa. Pulau Papua dicaplok dan dijadikan  Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau Papua Barat dicaplok dan dianeksasi oleh Indonesia hingga kini. Sementara masa depan hidup orang-orangnya diabaikan.  Orang Papua di jadikan sebagai golongan orang yang paling termiskin di dunia wilayah Indonesia Timur. Padahal orang Papua memiliki Sumber Daya Alam yang sangat kaya seperti Freeport Indonesia, Migas,  Sawit, Uranium, Nikel dan masih banyak lainnya.

Kemiskinan itu terjadi Sejak tahun 1969 ketika PEPERA dilakukan secara tidak demokratis, dibawah todongan senjata serta iming-iming kosong yang mengakibatkan PEPERA 1969 sebagai  referendum paling rusak, buruk dan tidak dibenarkan oleh orang Papua dan internasional.

Orang Asli Orang merasa tidak punya apa-apa, karena memang hidupnya dimiskinkan. Lama-lama kemiskinan bagi orang Papua terus meningkat, hak-haknya sebagai warga negara tidak diperhatikan oleh negara dan masyarakat Papua dijadikan sebagi lahan bisnis bagi Pemerintah Indonesia dan dunia. Setelah Papua dianeksasi, negara mencadangkan program transmigrasi, di seluruh Indonesia termasuk Papua Barat, kemudian terjadi pengiriman orang-orang transmigrasi secara besar-besaran di Tanah Papua. Pengiriman Transmigrasi di tanah Papua merupakan politik kependudukan.  Perebutan pulau Papua, oleh pemerintah melalui pengawasan PBB, hanya dengan kepentingan Sumber Daya Alam dan ekonomi bagi Bangsa Indonesia.

 

𝗜𝗜. 𝗞𝗼𝗿𝗯𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗹𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗛𝗔𝗠 𝗱𝗶 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗶𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗻𝗴𝗮𝘁 𝘀𝗶𝗴𝗻𝗶𝗳𝗶𝗸𝗮𝗻.

Dari tahun ke tahun, dan dari Presiden ke Presiden, situasi di pulau Papua saat ini dari sisi situasi pelanggaran HAM sangat meningkat. Eskalasi kekerasan dari aparat TNI dan TPNPB meningkat, masyarakat sipil meninggal di mana-mana  di berbagai daerah di Papua. Gelombang Pengungsi membanjiri di berbagai kota di tanah Papua akibat Operasi militer. Kebebasan orang Asli Papua terancam, Hak kebebasan mulai dipersempit atas kehadiran aparat militer di mana-mana di Papua, setiap mobil yang melintasi di periksa.

Pelanggaran ham terjadi sejak tahun 1969, hingga sampai sekarang intalasi kekerasan pelanggaran HAM, di tanah Papua justru meningkat, dugaan pelanggaran Ham menjadi sorotan masyarakat Internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sorotan masyarakat Internasional, tentang situasi Hak Asasi Manusia di tanah Papua Barat, cukup tajam mereka selalu melontarkan dalam bentuk surat dan pertanyaan-pertanyaan melalui Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menyurat kepada presiden sebagai kepala Negara  dan pengambil kebijakan lainnya di Indonesia.

Namun Pemerintah Indonesia selalu gagal menjawab dengan jujur. Dan selalu mengatakan situasi hak asasi manusia di Papua baik-baik saja. Seharusnya pemerintah Indonesia  menyampaikan dengan jujur sesuai dengan Fakta yang terjadi di Papua Barat, karena era saat ini adalah dunia digital, bukan saatnya untuk melakukan pembohongan.

Pembohongan sudah berakar dan bertumbuh dalam di Negara Indonesi, sehingga selalu menutupi kesalahan, dan tidak mau mengakui dengan jujur terhadap buruknya situasi Pelanggaran Ham di Tanah Papua. Kalau pembohongan sudah mulai berakar dan bertumbuh, pemerintah selalu akan  membangun isu Hoax terhadap masyarakat Internasional termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ).

Pemerintah yang tidak pernah belajar menyampaikan dengan jujur, terbuka, dan transparan kepada Masyarakat internasional dan rayartnya sendiri atas kesalahan dan perlakuannya adalah pemerintahan yang membagun ketidak percayaan terhadap Bangsanya sendiri dan Bangsa-bangsa di dunia lain.

 

𝗜𝗜𝗜. 𝗣𝗲𝗺𝗲𝗿𝗶𝗻𝘁𝗮𝗵 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗮𝗺𝗽𝘂 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗹𝗲𝘀𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗮𝘀𝘂𝘀 𝗽𝗲𝗹𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗛𝗔𝗠 𝗱𝗶 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮

Orang Asli Papua dipaksakan bergabung dengan Indonesia. Mereka tidak melihat perbedaan Ras dan Etnis. Diketahui Orang Asli Papua dengan orang diluar Papua sangat beda jauh dari sudut pandang Etnis, ras dan adat istiadat. terkait penyelesaian pelanggaran ham di Indonesia, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Keppres Presiden Republik Indonesia. Namun tidak ada satu pun Keputusan Presiden (Keppres) tunggal mengenai penyelesaian HAM di Indonesia, melainkan ada beberapa peraturan terkait, seperti KEPPRES No. 17 Tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, yang kemudian ditindaklanjuti dengan INPRES No. 2 Tahun 2023 tentang pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial tersebut, dan KEPPRES No. 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau pelaksanaan rekomendasi ini.

Keppres nomor. 17 Tahun 2022, pembentukan tim Penyelesaian non yudisial penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, dan ini dua bagian penting yang dicantumkan antara lain:

  1. Membentuk tim yang bertugas melakukan upaya penyelesaian non-yudisial terhadap pelanggaran HAM berat.
  2. Fokus utamanya adalah pemulihan hak-hak korban, bukan pencarian pelaku, yang merupakan urusan Komnas HAM dan DPR.

KEPPRES No. 17 Tahun 2022, Penyelesaian non-yudisial terdata 12 Kasus komitmen mantan Presiden yang ke 7 Ir.Joko Widodo,  dengan cara upaya penyelesaian non-yudisial terhadap pelanggaran ham berat, dan berfokus pada pemulihan hak-hak korban, bukan pencari pelaku yang merupakan urusan Komnas Ham dan DPRD. Dalam Keppres yang dimaksud telah terdata sebayak 12 Kasus pelanggaran ham berat, di seluruh Indonesia. Untuk  Papua Kasus Pembobolan Gudang senjata di kodim Wamena, 4 April Papua 2003 dan Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002

Lebih lengkap bisa buka link berikut ini, https://www.tempo.co Inilah 12 Pelanggaran HAM Berat yang Diakui Presiden Jokowi. Namun kasus-kasus ini berjalan di tempat, pemerintah telah menyentuh kulit, tidak menyentuh jantung. Sehingga proses penyelesaiannya tidak dengan sepenuh hati.

Pemerintah juga mengalami kesulitan dan tidak menyentuh jantung, dan tidak ada solusi penyelesaiannya. Karena Keluarga korban dan korban yang lain, tidak pernah sepakat  dan tidak mau menyelesaikan pelanggaran ham dengan mekanisme non-yudisial, mereka mau supaya penyelesaian pelanggaran ham dengan mekanisme politik, bukan mekanisme penyelesaian non-yudisial.

Sehingga Pemerintah Indonesia di bawah Pemerintahan Joko Widodo, sangat berhati-hari menyentuh penyelesaian Pelanggaran Ham dengan mekanisme politik, karena tuntutannya sangat kuat, bahkan kasus Wamena keluarga telah menyampaikan sikap pernyataan tertulis yang diberikan kepada TIM PP-HAM. kini sampai saat ini, tidak ada tanda-tanda penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia.

 

𝗜𝗩. 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝘀𝗲𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗼𝗽𝗲𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗺𝗶𝗹𝗶𝘁𝗲𝗿 𝘀𝗲𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗯𝗲𝘀𝗮𝗿-𝗯𝗲𝘀𝗮𝗿𝗮𝗻.

Pulau Papua Barat, adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, wilayah di Indonesia timur. Wilayah tersebut sedang terjadi Operasi militer dengan skala besar.  Setelah kejadian, pada 2 Desember 2018, pembantaian terhadap 17 karyawan PT Istaka Karya, yang dilakukan Kodap III Ndugama-Darakma dibawah pimpinan Panglima Jendral Egianus Kogeya. dan anak buahnya, Pemerintah Indonesia sampaikan operasi di Nduga akan dilakukan operasi penegakan hukum, dan pendekatan Humanis.

Setelah Pemerintah Indonesia, ganti Nama TPNPB-OPM menjadi TERORIS versi Indonesia, status penegakan hukum dan pendekatan Humanis berubah menjadi Operasi militer dan pendekatan pun, pendeta militer, sehingga pasukan non organik terus di kirim di seluruh tanah Papua. Ketidakmampuan mantan Presiden Joko Widodo, ia terus mengirim  pasukan non organik. Setelah Prabowo Subianto terpilih menjadi Presiden pasukan non organik masih saja terus dikirim.

Upaya pengiriman pasukan elit, di Papua, pemerintah punya rahasia terselubung, membumi hanguskan TPNPB-OPM dari tanah Papua, karena dianggap melawan Negara, dan Papua adalah  bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun Rencana terselubung yang dimaksud, tidak berhasil dan gagal selama 7 Tahun sejak operasi militer di Nduga pada tahun 2018-2025.

Rencana Pemerintah Indonesia, membumi hanguskan, TPNPB dari tanah Papua, namun tidak membuahkan hasil, TPNPB-OPM masih eksis berjuang untuk menentukan nasib sendiri, sekalipun pandangan Pemerintah Indonesia dan TNI/POLRI, TPNPB di Tanah Papua hanya segelintir orang saja, dan bisa membumi hanguskan dengan sekejap saja. Namun perjuangan mereka menjadi pesat, kuat dan semakin kokoh, mereka tidak  menyerah, sekalipun Pemerintah Indonesia memiliki kekuatan dan alat perang yang cukup canggi.

Selama ini, saya ikuti pernyataan TPNPB bahwa, pemerintah mau kirim pasukan model apapun silakan saja di kirim, kami siap berhadapan. Pernyataan ini selalu saja diungkapkan oleh pasukan TPNPB, mereka tidak pernah membuat dan menyatakan pernyataan mundur. Kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak bijaksana dan tidak mampu  menyelesaikan akar masalah di tanah Papua, sehingga menghadirkan TNI/Polri dengan kekuatan yang besar di tanah Papua. Dengan tujuan menghabiskan TPNPB Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Sedangkan Pemerintah tidak melihat ratusan anggota TNI/Polri juga jadi korban

 

𝗩. 𝗣𝗼𝘀-𝗽𝗼𝘀 𝗧𝗡𝗜 𝗺𝘂𝗹𝗮𝗶 𝗱𝗶𝗯𝗮𝗻𝗴𝘂𝗻 𝗱𝗶 𝗺𝗮𝗻𝗮-𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗱𝗶 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮

Untuk Operasi militer di tanah Papua, TNI mulai membangun pos di mana-mana, tanpa sepengetahuan dan kordinasi dengan masyarakat sebagai hak ulayat. Sehingga Kehadiran aparat militer di tolak dimana-mana. Namun aspirasi penolakan kehadiran aparat militer, tidak pernah di respon oleh Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten. Masyarakat setempat selalu rasa takut dan mengalami trauma, atas kehadiran aparat Militer, karena masyarakat yang hendak beribadah dan berkebun selalu di ikuti dengan Camera Drone, kebebasan masyarakat untuk beraktifitas tidak rasa bebas.

Seharusnya pemerintah dan aparat TNI melakukan tahapan penempatan anggota, sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang berlaku. Sehingga tidak terjadi penolakan dari masyarakat setempat atas  kehadiran aparat TNI. Saya melihat di Kabupaten Jayawijaya provinsi Papua Pegunungan, di Distrik Walaik dan Distrik Ibele Kabupaten Jayawijaya, terjadi penolakan atas kehadiran aparat TNI. Penolakan itu juga terjadi karena anggota TNI mengambil Ubi dan membongkar bagar tanpa sepengetahuan pemilik kebun, penolakan di Distrik Walaik terjadi karena masyarakat yang ikut ibadah pada hari minggu di ikuti dengan Camera Drone.

Selama ini, saya melihat tahapan pendekatan kepada masyarakat setempat  secara humanis tidak dilakukan, oleh Pemerintah Kabupaten dan Provinsi Papua Pegunungan termasuk aparat militer.  Tahapan sesuai prosedur, penempatan anggota militer yang harus dilakukan menurut saya adalah sebagai berikut.

𝗮. 𝗠𝗲𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴𝘂𝗻 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗲𝗸𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘁𝗼𝗸𝗼𝗵-𝘁𝗼𝗸𝗼𝗵 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗺𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝘀𝗲𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗱𝗲𝗸𝗮𝘁

𝗯. 𝗦𝗲𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗲𝗸𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗲𝗺𝘂𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗽𝗶𝗵𝗮𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗮𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗻𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗮𝗻𝗴𝗴𝗼𝘁𝗮, 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗺𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁

𝗰. 𝗠𝗲𝗺𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗸𝗲𝘀𝗲𝗽𝗮𝗸𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗹𝗮𝗹𝘂 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗻𝗮𝗻𝗱𝗮𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻𝗮𝗻 𝘀𝘂𝗿𝗮𝘁 𝗸𝗲𝘀𝗲𝗽𝗮𝗸𝗮𝘁𝗮𝗻

𝗱. 𝗣𝗲𝗻𝗲𝗺p𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗮𝗻𝗴𝗴𝗼𝘁𝗮 𝗧𝗡𝗜 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗱𝗮𝘀𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝘀𝘂𝗿𝗮𝘁 𝗸𝗲𝘀𝗲𝗽𝗮𝗸𝗮𝘁𝗮𝗻

𝗲. 𝗔𝗽𝗮 𝗯𝗶𝗹𝗮 𝘁𝗲𝗿𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗽𝗲𝗻𝗼𝗹𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗺𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁, 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗵𝗮𝗸 𝘂𝗹𝗮𝘆𝗮𝘁 𝗽𝗲𝗻𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗮𝗻𝗴𝗴𝗼𝘁𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗹𝘂 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻, 𝗱𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗺𝗯𝘂𝗮𝘁 𝘀𝘂𝗿𝗮𝘁 𝗽𝗲𝗿𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗻𝗼𝗹𝗮𝗸𝗮𝗻

Mekanisme tahapan yang saya dapat jelaskan di atas sangat penting dan harus di lalui, karena tahapan ini wajib dilalui dan sangat penting. Sering tidak melakukan tahapan tersebut, sehingga terjadi penolakan penempatan anggota. Kadang anggota masuk menempati tanpa sepengetahuan masyarakat setempat pasti akan terjadi penolakan. Supaya tidak terjadi penolakan atas kehadiran Anggota TNI, maka perlu lakukan tahapan yang saya dapat jelaskan di atas. Kalau itu yang dilakukan lalu menjelaskan alasan penempatan, Anggota TNI saya yakin masyarakat juga paham dan mengerti.

Karena tidak melakukan tahapan pendekatan kehadiran aparat TNI kepada masyarakat setempat, sehingga terjadi penolakan besar-besaran yang dilakukan seperti masyarakat Jayawijaya, yang berlangsung pada 2 September 2025, di halaman Kantor DPRD Kabupaten Jayawijaya. Dengan ratusan datang di halaman kantor DPRD menyampaikan aspirasi penolakan kehadiran Aparat  militer non Organik.

 

𝗩𝗜. 𝗣𝗲𝗺𝗲𝗿𝗶𝗻𝘁𝗮𝗵 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗮𝗺𝗽𝘂 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗹𝗲𝘀𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 4 𝗮𝗸𝗮𝗿 𝗺𝗮𝘀𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗱𝗶 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝗕𝗮𝗿𝗮𝘁 𝘀𝗲𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗸𝗼𝗺𝗽𝗿𝗲𝗵𝗲𝗻𝘀𝗶𝗳

Saya melihat Pemerintah sebenarnya tidak mampu menyelesaikan 4 akar persoalan di Papua, dari hasil penelitian yang dilakukan LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Empat akar persoalan yang dimaksud antara lain,

  1. Sejarah & Status politik Integrasi Papua ke Indonesia
  2. Kekerasan pelanggaran ham, sejak 1965 yang nyaris nol ke adilan
  3. Diskriminasi dan marjinalisasi Orang Papua di tanah Sendiri
  4. Kegagalan Pembangunan meliputi Pendidikan, Kesehatan, & Ekonomi Rayat.

Apa bila dari Ke empat akar persoalan yang saya dapat jelaskan di atas, Pemerintah Indonesia dapat menangani dan menyelesaikan dengan bijaksana, sehingga persoalan di tanah Papua, sesungguhnya sudah berakhir dan tidak ada korban lagi. Namun saya melihat Pemerintah Indonesia susah menyentuh empat akar masalah tersebut di atas. Karena kalau empat akan persoalan itu yang disentuh Pemerintah Indonesia akan merasa kehilangan dengan pulau Papua.  Karena itu, Pemerintah Indonesia sangat berhati-hati, mengambil kebijakan penyelesaian terhadap empat akar masalah yang saya dapat jelaskan di atas.

 

𝗩𝗜𝗜. 𝗥𝗲𝗸𝗼𝗺𝗲𝗻𝗱𝗮𝘀𝗶

  1. Presiden Prabowo Subianto sebagai panglima tertinggi bertanggung Jawab kasus-kasus dugaan pelanggaran ham di tanah Papua.
  2. Presiden dan Wakil Presiden RI segera mengundang Komisi Ham PBB dan Wartawan Internasional untuk segera melakukan pemantauan di Papua.
  3. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia segera menyelesaikan Empat akar masalah Papua. Apa bila tidak mampu menyelesaikan empat akar masalah yang dimaksud, membuka ruang dialog yang difasilitasi oleh pihak ke tiga, melalui  mekanisme Internasional.
  4. Kami mengharapkan Presiden Dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Untuk segera menindak lanjuti Keppres no.17 Tahun 2022, tentang penyelesaian Pelanggaran ham di Indonesia.

𝗢𝗹𝗲𝗵 : 𝗧𝗵𝗲𝗼 𝗛𝗲𝘀𝗲𝗴𝗲𝗺

Penulis adalah: 1. Pembela HAM Papua2. Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua 3. Ketua Forum Pemberantasan Miras dan Narkoba Provinsi Papua Pegunungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *