Mengapa Pemekaran di Papua harus Ditolak?
4 min read
Pemekaran wilayah merupakan salah satu kebijakan utama yang secara khusus diatur serta menjadi bagian integral dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Kebijakan ini dirancang untuk mendorong pemerataan pembangunan dan mempercepat kemajuan daerah di Tanah Papua. Meskipun demikian, setelah lebih dari 20 tahun pelaksanaan Otsus di wilayah ini, kebijakan pemekaran wilayah belum mampu memberikan dampak yang signifikan dan nyata dalam meningkatkan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat Papua secara menyeluruh dan merata di seluruh daerah.
Data kesehatan terbaru dengan jelas menunjukkan bahwa tingkat pelayanan kesehatan serta kemudahan akses terhadap berbagai fasilitas kesehatan di wilayah Papua masih jauh dari harapan dan jauh di bawah target yang telah ditetapkan dalam program pembangunan khusus yang dilakukan melalui kebijakan Otonomi Khusus (Otsus). Hal ini menjadi perhatian penting karena pelayanan kesehatan yang memadai sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sebagai contoh yang nyata terkait kondisi ini adalah kasus HIV/AIDS, di mana sejak diberlakukannya Otsus hingga saat ini, tercatat telah terjadi sebanyak 47 ribu kasus yang dilaporkan di seluruh wilayah Papua, menunjukkan bahwa masalah kesehatan ini masih menjadi tantangan besar yang harus segera ditangani secara serius.
Pendidikan dan akses terhadap Pendidikan gratis masih sangat jauh dari yang telah dirancang dan diharapkan. Hampir seluruh aspek Pendidikan, mulai dari aksesibilitas, kurikulum, hingga pelayanan terbaik dalam dunia Pendidikan, masih sangat minim sentuhan atau keterlibatan langsung dari orang asli Papua. Berdasarkan data yang ada, angka harapan sekolah bagi orang Papua hanya berkisar sekitar 11 tahun, yang berarti rata-rata mereka hanya dapat menempuh pendidikan sampai bangku kelas 1 SMP saja. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam hal kesempatan dan kualitas Pendidikan yang diterima oleh masyarakat asli Papua.
Ekonomi dan Infrastruktur, jika kita lihat secara sederhana pada kasus di Jayapura misalnya, dari total keseluruhan jumlah ruko, kafe, dan berbagai bangunan ekonomi lainnya yang mencapai lebih dari dua ribu unit ruko, hanya belasan saja yang benar-benar dimiliki oleh orang Papua asli. Sementara itu, di sisi lain, sekitar 29 juta hektar lahan yang ada di Papua telah dialihfungsikan dan diambil alih menjadi milik investasi serta perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di tanah Papua. Keadaan ini tentu sangat miris dan menyedihkan untuk kita semua!
Dari keempat kebijakan khusus Otonomi Khusus (Otsus) tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa orang Papua tidak mengalami kemajuan yang signifikan selama masa pengimplementasiannya. Bahkan kondisi yang terjadi justru sebaliknya, yaitu semakin terpinggirkan dan menjadi kelompok minoritas di atas tanah yang sebenarnya adalah milik mereka sendiri. Dalam bidang politik misalnya, dari total 14 kabupaten/kota yang ada di Papua, terdapat total 358 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dari jumlah tersebut, 246 kursi dikuasai oleh orang Indonesia non-Papua, sementara hanya 122 kursi yang diisi oleh orang Papua asli. Kondisi ini berdampak langsung pada tidak terjaganya nasib 67 ribu pengungsi yang tersebar di berbagai wilayah hutan di Papua. Selain itu, sejak tahun lalu hingga Maret 2022, tercatat sekitar 90an orang yang meninggal dunia terkait konflik dan ketegangan yang terjadi di wilayah tersebut.
Lalu bagaimana jadinya, jika Pemekaran wilayah dan pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II dipaksakan tanpa persiapan matang dan dukungan yang cukup? Bagaimanakah nasib dan masa depan orang Papua nantinya dalam menghadapi perubahan besar ini? Saat ini, dua provinsi saja sudah mengalami berbagai kesulitan dalam mengatur dan mengurus kepentingan orang Papua dengan baik dan adil. Lalu bagaimana jika jumlah provinsi bertambah menjadi enam, yang pastinya akan membawa tantangan yang jauh lebih kompleks dan berat? Tentu saja, konflik horizontal yang melibatkan masyarakat setempat bisa semakin sering terjadi, ditambah dengan risiko menjadi kelompok minoritas di daerahnya sendiri, diskriminasi yang semakin merajalela, serta munculnya tindakan rasisme yang tidak bisa diabaikan. Selain itu, kemungkinan besar kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) baru juga akan terus muncul dan menjadi masalah serius yang harus segera ditangani. Semua hal tersebut tampaknya sudah menunggu di depan mata jika pemekaran dan Otsus jilid kedua ini dipaksakan tanpa solusi yang tepat dan komprehensif.
Dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Jilid II (UU 2/2021), khususnya pada pasal 76 ayat 3, terdapat pusat kontroversi yang sangat kuat terkait dengan pemekaran Provinsi Papua. Pasal tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pemekaran Provinsi di wilayah Papua mengesampingkan berbagai syarat penting daerah persiapan, seperti kesiapan sumber daya manusia (SDM), aspek infrastruktur yang memadai, serta kekayaan sumber daya alam (SDA) yang tersedia. Ketidaksiapan daerah di Papua ini berpotensi menimbulkan dampak yang sangat serius, termasuk memperlebar kesenjangan sosial yang sudah ada, memicu konflik horizontal antar komunitas, dan tentu saja berujung pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang baru. Dalam UU Otsus Jilid II ini pula, kewenangan khusus yang sebelumnya dimiliki oleh Gubernur, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) semua dibatasi dan diambil alih oleh pemerintah pusat di Jakarta. Para elit Papua tidak boleh menutup-nutupi atau berbohong mengenai fakta ini. Sudah saatnya bagi seluruh masyarakat Papua, baik pejabat maupun rakyat yang selama ini berstatus sebagai terjajah, untuk sadar akan kondisi sebenarnya, bersatu dalam perjuangan, dan melawan balik dengan tegas. Lebih baik berjuang bersama daripada tunduk dan punah di atas tanah leluhur mereka sendiri.
RAKYAT PAPUA DENGAN TEGAS MENOLAK PEMEKARAN WILAYAH DAN OTONOMI KHUSUS (OTSUS)!!!