PERANG ASIMETRIS: SIFAT, BENTUK, POLA DAN SUMBERNYA
5 min read
Kepopuleran serta kefavoritan terhadap perang konvensional yang melibatkan pengerahan militer secara terbuka, khususnya setelah berakhirnya Perang Dunia II (1939-1945), akhirnya mengalami penurunan yang signifikan, terutama sejak berakhirnya era Perang Dingin (Cold War) yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet. Seiring dengan perubahan lanskap politik global tersebut, muncullah berbagai model perang baru sebagai reaksi atas dinamika politik dan strategi sebelumnya. Beberapa di antaranya adalah proxy war (perang boneka atau perang perwalian), hybrid war (perang kombinasi), asymmetric warfare (perang asimetris), currency wars (perang mata uang), dan lain sebagainya yang menggambarkan evolusi taktik dan strategi peperangan di era modern.
Catatan sederhana ini bertujuan untuk membahas secara lebih mendalam mengenai asymmetric warfare, sementara konsep proxy war maupun hybrid war serta model-model lain hanya akan disinggung secara singkat sebagai pengantar untuk menyambungkan pembahasan utama. Sesuai dengan judul artikel ini, fokus utama materi memang tertuju pada asymmetric warfare yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai peperangan asimetris, juga sering disebut perang non militer, smart power, atau perang nirmiliter. Selanjutnya, dalam artikel ini, beberapa istilah yang berkaitan dengan asymmetric warfare akan digunakan secara bergantian karena makna dasarnya memang sama. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita terlebih dahulu memahami berbagai pengertian tentang perang asimetris dari beberapa referensi utama meskipun dalam hal definisi tersebut sering ditemukan ketidakkonsistenan ataupun kesimpangsiuran mengenai arti, maksud, dan makna terminologi itu sendiri.
Definisi Beberapa Sumber
Dewan Riset Nasional (DRN) pada tahun 2008 dalam publikasinya berjudul “Suatu Pemikiran tentang Perang Asimetris (Asymmetric Warfare)” yang diterbitkan di Jakarta, memberikan definisi bahwa perang asimetris merupakan suatu model peperangan yang dikembangkan berdasarkan cara berpikir yang tidak lazim dan berada di luar aturan peperangan konvensional yang berlaku. Model ini memiliki spektrum yang sangat luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan yang dikenal dengan konsep astagatra, yaitu perpaduan antara trigatra (geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA) serta pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetris selalu melibatkan dua aktor atau lebih, dengan ciri khas adanya ketidakseimbangan kekuatan yang mencolok antara pihak-pihak yang bertikai.
Sementara itu, US Army War College menyatakan:
“Peperangan asimetris dapat dideskripsikan sebagai sebuah konflik di mana dua pihak yang berkonflik memiliki sumber daya inti dan perjuangan yang berbeda, cara berinteraksi yang tidak sama, serta upaya untuk saling mengeksploitasi kelemahan-kelemahan lawan masing-masing. Perjuangan tersebut sering kali berhubungan dengan strategi dan taktik perang yang tidak konvensional. Pihak yang lebih lemah berusaha menggunakan strategi tertentu untuk mengimbangi kekurangan yang dimiliki, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.” (Tomes, Robert, Spring 2004, Relearning Counterinsurgency Warfare, Parameter, US Army War College).
Selanjutnya, definisi versi Australia’s Department of Defence adalah sebagai berikut:
“Konflik selalu melibatkan satu pihak yang mencari keuntungan asimetris atas pihak lainnya dengan cara memperbesar elemen kejutan, penggunaan teknologi canggih, atau metode operasi baru secara kreatif. Aspek asimetri ini dicari dengan menggunakan pasukan konvensional, pasukan khusus, dan pendekatan tidak biasa untuk menghindari kekuatan musuh dan memaksimalkan keunggulan yang dimiliki. Semua perang kontemporer didasarkan pada pencarian keunggulan asimetris. Asimetri muncul ketika diketahui adanya perbedaan signifikan antara dua hal. Asimetri militer dapat diartikan sebagai perbedaan tujuan, komposisi pasukan, budaya, teknologi, dan jumlah pasukan.” (Land Warfare Doctrine 1, 2008, The Fundamentals of Land Warfare, Australia’s Department of Defence).
Pointers Diskusi
Dari beberapa definisi yang bersumber dari tiga rujukan berbeda di atas, terdapat beberapa pointers penting yang layak dicermati dalam sub diskusi ini, di antaranya:
Dewan Riset Nasional (DRN) misalnya, lebih memaknai perang asimetris sebagai perkembangan dari perang konvensional yang menggunakan cara berpikir tidak lazim. Mengapa demikian? DRN memandang perang ini sebagai peperangan dengan spektrum yang sangat luas karena mencakup konsep astagatra, yaitu delapan aspek kehidupan yang terdiri dari trigatra dan pancagatra. Trigatra meliputi aspek geografi, demografi, dan sumber daya alam (SDA), sedangkan pancagatra mencakup aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dari sisi taktis peperangan, DRN menekankan keterlibatan dua aktor atau lebih serta menyoroti ketidakseimbangan keadaan yang terjadi antar aktor dalam konflik tersebut.
Sementara itu, definisi perang nirmiliter versi US Army War College lebih menekankan pada perbedaan sumber daya antara dua pihak yang berkonflik, cara berinteraksi yang berbeda, dan upaya saling mengeksploitasi kelemahan lawan. Mereka masih mengaitkan konsep ini dengan strategi dan taktik perang non konvensional, yang berarti pihak yang lebih lemah berusaha menggunakan strategi khusus untuk mengimbangi kekurangan baik dari segi jumlah maupun kualitas pasukan.
Selanjutnya, definisi perang non militer versi Australia’s Department of Defence lebih fokus pada pencarian keuntungan secara nirmiliter atas pihak lain, meskipun pencarian aspek asimetris tersebut tetap dilakukan dengan pendekatan militer. Mereka memandang asimetri militer sebagai perbedaan dalam tujuan, komposisi pasukan, budaya, teknologi, dan jumlah pasukan yang terlibat.
Rangkuman Perang Asimetris
Dari ketiga definisi tersebut, memang masih ditemukan perbedaan arti, maksud, dan makna mengenai peperangan non militer. Belum ada definisi yang benar-benar cocok, pas, dan baku secara universal. Misalnya, Australia’s Department of Defence masih mengaitkan perang nirmiliter dengan perang militer konvensional, tetapi menekankan hasil peperangan yang berupa dampak non militer, seperti kontrol ekonomi negara lawan dan penguasaan sumber daya alam. Demikian pula US Army War College masih membandingkan dan mengukur kekuatan antar pihak yang bertikai sebagaimana dalam perang militer terbuka.
Menurut pandangan penulis, definisi perang asimetris versi DRN lebih realistis dibandingkan definisi lainnya karena sejalan dengan model dan praktik-praktik yang telah terjadi selama ini. Perang nirmiliter dianggap sebagai model perang yang tidak lazim—non militer—dan dalam praktik operasionalnya cenderung bersifat non kekerasan. Spektrum sasarannya jauh lebih luas daripada perang konvensional karena mencakup seluruh aspek kehidupan. Meskipun demikian, penulis sedikit menyayangkan karena dalam definisi DRN masih mencantumkan adanya “ketidakseimbangan keadaan bagi dan antar aktor yang terlibat peperangan.” Hal ini menjadi pertanyaan, sebab dalam praktik kolonialisme, perang non militer saat ini justru dipandang sebagai metode favorit para kekuatan adidaya untuk menancapkan pengaruh serta kolonialisme di negara-negara target. Pertanyaannya, “Bukankah dari sisi sumber daya perang, para adidaya jauh lebih canggih dan kuat dibandingkan negara-negara target? Mengapa dalam perang nirmiliter masih dipersoalkan ketidakseimbangan kekuatan di antara pihak-pihak yang terlibat?”
Menteri Pertahanan RI, Ryamizard Ryaccudu, memaknai asymmetric warfare sebagai perang non militer atau dalam istilah populernya disebut smart power, yakni perang non konvensional yang murah meriah tetapi memiliki daya hancur jauh lebih dahsyat dibandingkan bom atom.
“Asymmetric warfare merupakan perang yang murah meriah namun kehancurannya lebih dahsyat daripada bom atom. Jika Jakarta dibom atom, daerah-daerah lain tidak akan terkena dampak, tetapi bila dihancurkan menggunakan asymmetric warfare maka sistem di negara ini akan hancur selama puluhan tahun dan efeknya menyeluruh,” ujar Ryamizard pada tanggal 29 Januari 2015.
Merujuk pada diskusi dan rangkuman di atas, sebuah diskusi terbatas yang digelar di Global Future Institute (GFI) Jakarta, yang dipimpin oleh Hendrajit pada 24 Maret 2015, merumuskan definisi asymmetric warfare sebagai berikut:
“Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru yang dilakukan secara nirmiliter (non militer), namun daya hancurnya tidak kalah bahkan dampaknya jauh lebih dahsyat dibandingkan perang militer konvensional.