Tambrauw Bukan Tanah Kosong
4 min read
Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua telah berkembang menjadi krisis yang sangat kronis dan serius, yang mengancam secara langsung keberlangsungan hidup masyarakat adat serta kelestarian lingkungan hidup di wilayah tersebut. Pelaksanaan PSN yang dilakukan dengan cara yang sangat agresif dan tanpa adanya pengawasan serta kontrol yang ketat telah menyebabkan kerusakan ekosistem secara masif dan perampasan tanah secara sistematis. Hal ini memicu munculnya konflik sosial yang berkepanjangan serta bentuk-bentuk kekerasan struktural yang merugikan banyak pihak. Pemerintah bersama dengan korporasi besar tampak mengabaikan secara menyeluruh hak-hak dasar masyarakat adat, merampas ruang hidup mereka tanpa memberikan kompensasi yang layak dan adil, sehingga menimbulkan marginalisasi yang mendalam serta penghancuran budaya yang tak tergantikan nilainya. Selain itu, situasi pengungsian massal terjadi akibat operasi militer yang dilakukan untuk melindungi korporasi dan kepentingan PSN, yang menyebabkan ribuan masyarakat adat kehilangan rumah dan akses terhadap sumber kehidupan mereka. PSN di Papua tidak hanya menjadi sumber utama konflik, tetapi juga menjebak wilayah ini dalam siklus ketidakadilan yang sangat mendalam, yang semakin memperparah kondisi kemiskinan, ketimpangan sosial, serta kerusakan lingkungan yang mengancam keberlanjutan masa depan generasi-generasi yang akan datang. Hal tersebut tentu berdampak luas pada situasi hari ini yang terjadi di Tambrauw, Papua Barat.
Kawasan Hutan Lindung Masyarakat Tambrauw semakin terancam oleh serangan sistemik yang dilakukan oleh korporasi PT. Nuansa Lestari Sejahtera (NLS), yang kini beroperasi dalam kerangka Proyek Strategis Nasional (PSN). Perampasan lahan secara paksa yang dilakukan NLS mencerminkan dinamika kapitalisme ekstraktif yang didorong oleh kepentingan pembangunan nasional, namun mengabaikan hak-hak masyarakat adat serta keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial. Pendekatan ini terus merusak sumber penghidupan masyarakat Adat Tambrauw, yang selama ini bergantung pada hutan sebagai pusat kehidupan dan budaya, sehingga menimbulkan krisis eksistensial yang semakin parah. Ancaman kepunahan spesies endemik seperti Burung Mambruk, Burung Paruh Sabit Kurikuru, Landak Irian, Lebah Raja, dan tumbuhan langka Hopea Gregoria tidak hanya menjadi bencana ekologis, tetapi juga mencerminkan runtuhnya ekosistem dan pengetahuan lokal yang sangat berharga. Situasi ini mengungkap ketidakadilan struktural yang terus berlangsung dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia, di mana hak-hak masyarakat adat seringkali diabaikan demi percepatan proyek pembangunan nasional dan dominasi korporasi. Konflik sosial yang berkepanjangan, marginalisasi, dan pengusiran paksa masyarakat adat tetap menjadi bentuk kolonialisme internal yang harus segera diakhiri melalui perjuangan kolektif dan perubahan kebijakan yang mengedepankan kedaulatan rakyat serta kelestarian lingkungan. Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi bukan sekadar insiden tunggal, melainkan bagian dari pola penindasan sistemik yang menuntut respons tegas dari masyarakat sipil, aktivis, dan pemerintah untuk membalikkan keadaan dan memastikan keadilan ekologis serta sosial bagi masyarakat Tambrauw.
Kawasan Hutan Lindung Masyarakat Tambrauw semakin terancam oleh serangan sistemik yang dilakukan oleh korporasi PT. Nuansa Lestari Sejahtera (NLS), yang kini beroperasi dalam kerangka Proyek Strategis Nasional (PSN). Perampasan lahan secara paksa yang dilakukan NLS mencerminkan dinamika kapitalisme ekstraktif yang didorong oleh kepentingan pembangunan nasional, namun mengabaikan hak-hak masyarakat adat serta keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial. Pendekatan ini terus merusak sumber penghidupan masyarakat Adat Tambrauw, yang selama ini bergantung pada hutan sebagai pusat kehidupan dan budaya, sehingga menimbulkan krisis eksistensial yang semakin parah. Ancaman kepunahan spesies endemik seperti Burung Mambruk, Burung Paruh Sabit Kurikuru, Landak Irian, Lebah Raja, dan tumbuhan langka Hopea Gregoria tidak hanya menjadi bencana ekologis, tetapi juga mencerminkan runtuhnya ekosistem dan pengetahuan lokal yang sangat berharga. Situasi ini mengungkap ketidakadilan struktural yang terus berlangsung dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia, di mana hak-hak masyarakat adat seringkali diabaikan demi percepatan proyek pembangunan nasional dan dominasi korporasi. Konflik sosial yang berkepanjangan, marginalisasi, dan pengusiran paksa masyarakat adat tetap menjadi bentuk kolonialisme internal yang harus segera diakhiri melalui perjuangan kolektif dan perubahan kebijakan yang mengedepankan kedaulatan rakyat serta kelestarian lingkungan. Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi bukan sekadar insiden tunggal, melainkan bagian dari pola penindasan sistemik yang menuntut respons tegas dari masyarakat sipil, aktivis, dan pemerintah untuk membalikkan keadaan dan memastikan keadilan ekologis serta sosial bagi masyarakat Tambrauw.
Perusahaan ini secara terang-terangan menguasai tanah Adat Masyarakat Tambrauw sebagai lahan utama proyek food estate nasional yang dijalankan oleh PT. NLS, mengklaim posisi strategis dan peran vital demi ketahanan pangan nasional. Namun, pengambilalihan lahan seluas sekitar 120.000 hektar ini merupakan bentuk penjajahan baru yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat serta menyingkirkan mereka dari pengelolaan sumber daya alam yang selama ini mereka pelihara dengan kearifan lokal. Rencana ekspansi proyek hingga 705.100 hektar di wilayah Papua bukan hanya ancaman nyata bagi kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sosial, tapi juga serangan sistemik terhadap eksistensi budaya dan kedaulatan masyarakat adat. Apakah proyek ini benar-benar untuk rakyat atau hanya alat korporasi dan pemerintah menjarah tanah dan sumber daya demi keuntungan segelintir elit? Ketiadaan dialog sejati, minimnya partisipasi masyarakat adat, dan transparansi yang sengaja ditutup-tutupi menandai sebuah pelanggaran berat yang harus segera dihentikan. Sudah saatnya masyarakat adat dan seluruh elemen bangsa bangkit menolak proyek yang merampas hak mereka dan menuntut pengakuan serta penghormatan penuh terhadap kedaulatan tanah adat sebagai sumber kehidupan dan identitas mereka.
Melihat ancaman yang bukan hanya serius tetapi juga sistemik dan destruktif terhadap ekosistem serta hak-hak masyarakat adat, Aliansi Masyarakat Tambrauw bersama Masyarakat Adat Lembah Kebar dengan tegas menyatakan sikap: 1) Menolak dengan keras dan tanpa kompromi keberadaan PT. Nuansa Lestari Sejahtera yang secara sengaja dan terorganisir telah menghancurkan lahan adat seluas 550 hektar, merusak ekosistem vital dan meminggirkan hak-hak masyarakat Kebar, tindakan ini merupakan bentuk kolonialisasi modern dan eksploitasi alam yang harus dihentikan segera demi mempertahankan keberlanjutan lingkungan hidup dan kedaulatan masyarakat adat; 2) Mendesak Pemerintah untuk segera menghentikan segala bentuk kolusi dan dukungan terhadap korporasi perusak lingkungan ini, serta menegakkan pengakuan dan perlindungan Hak Masyarakat Adat berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tambrauw No. 5 Tahun 2018. Pemerintah harus menjadi pelindung sejati nilai-nilai ekologis dan kultural Hutan Adat Tambrauw yang telah diakui sebagai wilayah konservasi penting sejak 2011, bukan menjadi alat perusak yang mengorbankan masa depan lingkungan dan kehidupan masyarakat adat demi keuntungan sesaat segelintir pihak.
Tuntutan ini adalah panggilan perlawanan untuk mengembalikan kedaulatan ekologis dan sosial yang telah dirampas oleh kapitalisme destruktif atas nama pembangunan dan kepentingan ekonomi nasional Indonesia.
Penulis: Kam Muda & Rektor